JAKARTA
- Wacana yang dilontarkan oleh anggota Komisi III DPR RI Deddy Sitorus
dari Fraksi PDIP terkait penempatan Polri di bawah naungan TNI atau
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus mendapat penolakan dan
protes keras dari publik.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute,
Hendardi juga angkat bicara melalui siaran pers terkait wacana yang
diusulkan oleh anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan itu.
Menurut
Hendardi, evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh
PDI Perjuangan yang salah satunya mengarah pada dugaan keterlibatan
Polri dalam pemenangan kontestan tertentu di beberapa daerah dan
berujung pada usulan pencopotan Kapolri dan perubahan posisi kelembagaan
Polri, dapat dimaklumi.
Hal itu bisa dianggap sebagai aspirasi politik yang muncul dari pemantauan PDI Perjuangan atas netralitas Polri dalam Pilkada.
Diakui
atau tidak, dugaan itu tidak perlu dibuktikan kecuali menjadi dalil
dalam sengketa Pilkada, baik melalui Bawaslu maupun nanti di Mahkamah
Konstitusi.
Menurut Hendardi, kritik PDI Perjuangan harus
dimaknai sebagai alarm keras bagi kualitas demokrasi dan integritas
Pilkada serentak 2024.
Selain itu juga dapat menjadi dasar
akselerasi reformasi dan transformasi Polri pada beberapa peran yang
dianggap oleh PDI Perjuangan, memperburuk kualitas demokrasi.
"Secara
faktual, baik langsung maupun tidak langsung, publik menangkap pesan
bahwa terdapat pihak-pihak yang diuntungkan oleh peran-peran Polri,
selain peran normatif melakukan pengamanan dan sebagai bagian dari
Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada," ujar Hendardi.
Akan
tetapi munculnya aspirasi mengubah posisi kelembagaan Polri di bawah
TNI sebagaimana di masa Orde Baru adalah gagasan keliru dan bertentangan
Konstitusi RI.
"Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian
Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4)
UUD Negara RI 1945," tegasnya.
Dijelaskan oleh Hendardi,
ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden.
Sehingga menurut Hendardi tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional oleh Polri dilakukan kepada Presiden.
"Penting
diingat, bahwa pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR No.
VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga," kata Hendardi.
Ia
menyebut, gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana di masa lalu
dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata
kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban dan penegakan hukum.
Dalam
riset Desain Transformasi Polri, SETARA Institute (2024) telah
menangkap aspirasi terkait perubahan posisi kelembagaan Polri dan
merekomendasikan transformasi kinerja Polri bukan mengubah posisi
kelembagaan Polri.
"Karena menjaga independensi Polri adalah perintah Konstitusi," tegasnya
SETARA
Institute mendorong transformasi Polri dengan salah satunya memperkuat
tugas dan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen
pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi
perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban dan
menjalankan fungsi penegakan hukum.
Secara paralel, perbaikan
hukum Pemilu dan Pilkada harus terus menerus dilakukan, baik dilakukan
oleh otoritas legislasi maupun melalui Mahkamah Konstitusi yang
menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana,
sehingga kualitas demokrasi terus meningkat. (*)
Posting Komentar